Bab 279
Bab 279 Pak Daniel
“Pindah rumah? Pindah ke mana?”
Dua lansia itu terkejut.
Livy juga menatap Ardika dengan tatapan bingung.
Ardika mencubit pipi gadis kecil itu dengan lembut dan berkata, “Pindah ke vila
lama yang disebut oleh Livy, vila yang bisa memelihara kura–kura kecil dan ikan
mas kecil itu.”
“Wah! Terima kasih, Ayah! Ayah sangat baik!”
Livy bersorak dengan senang, lalu mencium pipi Ardika.
Selesai memilah–milah dan membereskan barang–barang mereka, mereka
menumpangi dua buah mobil dan kembali ke vila nomor sembilan bersama–sama.
Ardika meminta dua wanita itu untuk membawa ayah angkat, ibu angkat serta Livy
yang tampak sangat senang itu memasuki vila terlebih dahulu, sedangkan Ardika
sendiri membantu sopir Jesika memindahkan barang–barang.
Tepat pada saat ini, beberapa mobil mewah melaju dan berhenti di depan vila. NôvelDrama.Org holds this content.
Kemudian, sekelompok orang keluar dari dalam mobil.
“Melia?”
Orang yang memimpin kelompok itu adalah seorang wanita cantik. Hanya dengan sekali pandang saja, Ardika sudah mengenalnya.
Wanita itu tidak lain adalah Nona Keluarga Lukito dan pemilik Kelab Gloris yang sebelumnya dihancurkan olehnya, Melia.
“Pak Daniel, dua tahun yang lalu, vila nomor sembilan ini adalah tempat tinggal orang kaya paling muda di Kota Banyuli. Kalau Bapak menyukainya, aku akan segera membeli vila ini dan memberikannya kepada Bapak.”
Sepanjang jalan, Melia menemani seorang pria yang tampak dingin dengan sikap
sangat sopan.
“Nona Melia, vila ini pasti sangat mahal, ‘kan? Aku nggak layak menerimanya.”
Pria itu melambaikan tangannya, berpura–pura enggan menerima penawaran Melia. Namun, di balik kacamatanya, tatapan mesum pria itu tidak terlepas dari Melia.
“Pak Daniel, jangan merendahkan diri seperti ini. Kalau Bapak nggak layak
menerimanya, siapa lagi yang layak menerimanya?”
Melia berkata dengan nada manis dan menjilat, “Bapak adalah ketua logistik tim tempur Kota Banyuli. Bapak adalah sosok yang terhormat. Kali ini, acara peresmian
jabatan Komandan Thomas diselenggarakan di tim tempur Kota Banyuli. Bapak juga yang bertanggung jawab atas semua persiapan acara tersebut.”
“Tiga keluarga besar bahkan mengharapkan Pak Daniel bisa memberikan kami tiga
tiket masuk ke acara itu.”
“Jangankan hanya satu vila.”
Tidak langsung menyelesaikan kalimatnya, Melia sengaja mendekati pria itu, seolah
-olah hendak menempelkan tubuhnya pada tubuh pria itu.
Sambil menggigit bibir merah menggodanya, dia berkata, “Aku bahkan bersedia
menyerahkan diriku untuk Pak Daniel….”
Pria ini adalah Daniel Hutapea, ketua logistik tim tempur Kota Banyuli.
Dengan mengandalkan relasi mereka, tiga keluarga besar berusaha menjilat pria ini agar bisa berpartisipasi dalam acara peresmian jabatan Thomas.
Mendengar sanjungan dan godaan dari Melia, dalam sekejap sekujur tubuh Daniel
langsung terangsang.
“Ah, Nona Melia bisa saja. Kalau begitu, aku nggak akan pilih–pilih lagi. Vila nomor
sembilan, angka sembilan angka keberuntungan!”
Daniel menggenggam tangan lembut Melia, gairah sudah berkecamuk dalam
hatinya.
Dia sudah mulai membayangkan indahnya bercinta dengan Melia di dalam vila
tersebut.
ΓΙ
“Adapun mengenai tiga tiket masuk, Nona Melia jangan khawatir, serahkan saja padaku!”
Melia merasa sangat senang. Dia langsung berkata kepada bawahannya, “Hubungi staf Bank Napindo yang bertanggung jawab atas penjualan properti, bilang aku mau membeli vila nomor sembilan. Uang bukan masalah.
“Kalau aku buka harga dua puluh triliun, apa kamu akan membelinya?”
Tepat pada saat ini, tiba–tiba terdengar suara seseorang.
Suara ini familier di telinga Melia, dia langsung melemparkan sorot mata dingin ke sumber suara.
“Ardika, ternyata kamu!”
Kelab Gloris dihancurkan menyebabkan harga dirinya hancur.
Dalang di balik penghancuran kelab miliknya adalah Ardika.
Saat ini, bertemu musuhnya secara langsung, tentu saja menyulut emosinya.
Melihat barang–barang bawaan dalam genggaman Ardika, dia langsung tertawa dingin.
“Ardika, bukankah dengan menjilat presdir Grup Sentosa Jaya, istrimu sudah memperoleh dana investasi sebesar lebih dari empat triliun? Kenapa kamu malah menjadi tukang angkat barang di sini?”
“Apa istrimu sudah mencampakkanmu dan nggak ingin memeliharamu di Keluarga Basagita lagi?” kata Melia dengan nada menyindir.
Melihat Ardika begitu menyedihkan, dia merasa sangat senang.
Di sisi lain, bukan hanya karena Melia adalah wanita, Ardika akan sungkan padanya.
Dia langsung berkata dengan dingin, “Melia, jangan nggak tahu diri! Apa karena bekas tamparan di wajahmu sudah hilang, kamu sudah melupakan rasa sakitnya? Berani–beraninya kamu berbicara seperti itu padaku!”