Chapter 1
Chapter 1
BAB 1 I Gossip
Via memperhatikan wajah Sean yang terlelap. Rasa cinta yang membuncah pada pria di hadapannya sudah tak lagi terbendung. Ingin dia mengucapkan tiga kata sakral yang pasti akan langsung mengakhiri hubungan mereka bila itu terucap. Berkali-kali dia menahan lidah dan menelan kata cinta hanya untuk mempertahankan hubungan tanpa masa depan mereka.
Gadis dua puluh empat tahun itu mengelus pipi Sean lembut. Hatinya bergetar kala kulit mereka saling bersentuh. Tangan mulusnya terhenti tatkala pria di hadapannya menggeliat karena sentuhan lembut jari-jemari yang dia beri, bahkan terdengar gumaman halus sisa-sisa kepuasan malam tadi.
Tak lepas mata Via memeta wajah Sean yang rupawan. Amat sempurna dengan rahang keras membentuk persegi dengan lesung membelah dagu. Dia dapat mengingat jelas dua lesung pipi yang menambah sempurna ketampanan pria itu.
Masih jelas dalam ingatan Via ketika pertama kali dia memasuki ruang interview, tidak sekali pun Sean mengangkat kepala ketika dua bawahannya menanyakan kualifikasi Via ketika melamar kerja kala itu. Bahkan dia sempat tersipu begitu beradu mata dengan HRD yang mewawancara ketika tertangkap basah mencuri pandang wajah rupawan Sean yang sempurna. Bahkan Via sempat bertanya seperti apa warna mata seorang Sean Reviano saat itu.
Biru, sebiru dalamnya samudra.
Kini mata itu terbuka, menatap sayu ke arahnya.
“Sudah puas memandangku?”
Tubuh Via bergetar mendengar suara maskulinnya. Tidak sekali pun Via bermimpi dapat mendengar suara serak bangun tidur Sean Reviano. Sekarang, dia puas mendengar suara itu setiap pagi.
“Aku tidak akan pernah puas,” jawab Via tanpa malu.
Sean terkekeh pelan dan mendaratkan kecupan di bibirnya.
“Jam berapa ini?” tanya Sean sembari menguap meregangkan tubuh.
Via melirik jam yang terletak di atas nakas tepat di samping Sean.
“Subuh, Jam lima,” jawab Via merasa enggan, karena sebentar lagi matahari akan terbit dan mereka berpisah melewati hari di kantor tanpa menunjukkan kemesraan sedikit saja.
Terkadang Via ingin mengutarakan isi hati, mengatakan dia keberatan dengan aturan hubungan yang Sean tetapkan sejak awal hubungan dimulai. Masih dia ingat saat itu Sean mengatakan; “No Commitment. No Pregnancy. No Wedding. Jika kau masih ingin memiliki affair denganku, hubungi nomor ini.”
Awalnya dia mengira hatinya pasti kuat, ternyata dia salah kira sekilo kapas tidaklah lebih ringan dari sekilo baja. Semakin hari dilewati bersama, beratnya semakin terasa.
“Masih ada dua jam lagi, jauh lebih cukup,” ucap Sean sembari menarik Via dalam pelukan dan memulai kecupan-kecupan panas hingga mereka terbuai hasrat yang tertunda.
………………………………………………………………..
Jam makan siang baru saja dimulai, tetapi percakapan akan tersiarnya berita pertunangan Sean Reviano dengan seorang model cantik menyebar dengan cepat. Ruang kantin karyawan Hotel Luna Star bising dengan bisik-bisik diskusi kabar pertunangan CEO muda mereka.
Awalnya Via menulikan telinga, tetapi percakapan di sekitar tidak lagi terbendung, bahkan sekretaris pribadi Sean yang bernama Altha paling bising di antara kumpulan itu. Malangnya, Via duduk berhadapan sehingga mau tidak mau harus mendengar pembicaraan.
“Pak Sean masih belum mengklarifikasi, tetapi dari apa yang aku baca itu bukan hoax. Mereka sering terlihat bersama di setiap acara,” kata Amber ikut menimpali.
“Iya, benar. Kemarin mereka juga terlihat makan berdua di Moon Café,” bahkan Reina juga tak mau ketinggalan.
“Katanya, mereka sudah dekat sejak kanak-kanak. Jadi, wajar saja bila mereka menikah. Evelyn kan putri konglomerat perusahaan ekspedisi, statusnya setara dengan Pak Sean.”
Tanpa Via sadari sendok yang dia pegang sejak tadi bentuknya sedikit berubah, bengkok karena lama ditekan.
“Ya ampun, lihat-lihat mereka benar-benar serasi….” Satu meja mencondongkan tubuh ke arah Cece yang mengayunkan ponsel ke udara, memamerkan foto kemesraan Sean dengan seorang wanita. Keduanya terlihat saling merangkul, berpose pada kamera dibalut baju mewah elegan usai menghadiri acara gala.
Sekilas Via melihat wanita yang berpasangan dengan Sean. Sungguh dia merasa insecure dengan tubuhnya yang tidak seramping dan setinggi itu. Bahkan make up yang dipoles ke wajah benar-benar sempurna, bersih terawat disentuh dokter spesialis kulit ratusan juta.
“Andaikan saja wajahku secantik dia dan berasal dari keluarga kaya, pastilah setengah masalahku selesai. Betapa iri memiliki paras sempurna,” desah Amber dengan mata berandai-andai.
Altha hanya tertawa mendengar pujian dari rekan kerjanya yang tak putus-putus pada wanita bernama Evelyn. Hanya senyum lemah tidak tulus terukir di wajah Via yang mulai lesu. Kini nafsu makannya hilang sudah, sangat susah dia menelan sisanya.
“Kau sedang sakit?” tanya Keiza yang duduk di sebelah. Sejak tadi dia tidak ikut hanyut dalam lautan kekaguman yang rekan kerjanya alami. Seakan imun sama seperti dirinya.
“Tiba-tiba perutku mulas,” jawab Via berpura-pura.
“Ya ampun kenapa diteruskan, pakai ini,” kata Kezia menatapnya simpati sembari menyodorkan minyak kayu putih.
“Terima kasih, nanti juga membaik,” ucap Via menerima.
“Apa kau percaya dengan berita yang beredar?” tanya Kezia tiba-tiba.
Via menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, semua bisa saja benar. Fakta bahwa mereka sangat dekat sudah cukup menjadi bukti.”
Kezia mendengus tidak setuju. Dia berkata; “Sebelum ada klarifikasi, berita yang beredar masih abu- abu.”
Malas memberi balasan, Via tertunduk ke meja. Dia ingin jam istirahat berlalu saja. Bahkan telinganya seolah memiliki kehendak sendiri, mendengarkan satu per satu percakapan di sekitar. Tanpa malu mencuri dengar, walau arahnya dua meja dari grupnya berkumpul.
Hatinya membisik, ada baiknya langsung bertanya daripada menduga. Tetapi kepalanya menolak hingga mata dan telinga seakan tuli serta buta logika.
……………………………………………………..
Rapat baru saja dimulai, tetapi Via ingin semua cepat berakhir. Mungkin tidur sebentar bisa membuatnya berfungsi kembali. Pikirannya melayang entah kemana, namun dia tersentak saat suara maskulin yang familiar memangil, membuat beberapa kepala memandang Via penuh tanya.
“Via, dari tadi aku memanggilmu. Apa kau sakit?” walau intonasinya terdengar biasa, Via masih dapat mendengar sekilas nada khawatir dari suara itu.
Berdehem sebelum bersuara, Via sedikit malu menjadi pusat perhatian.
“Sejak tadi siang saya merasa kurang enak badan,” jawabnya dan melanjutkan, “Maaf, sudah mengganggu konsentrasi Anda.”
“Tidak-tidak, jika memang sudah tidak kuat mengikuti rapat kamu bisa beristirahat.”
Sean dikenal sebagai pimpinan yang perhatian, walau terkadang dia sangat tegas dan disiplin, kesehatan karyawan selalu menjadi prioritas.
“Seperti sebelum-sebelumnya, mintalah izin jika merasa kurang sehat sebelum rapat dimulai,” ucap Sean sembari membuka dokumen yang dia jelaskan tadi. “Kembali ke rapat, aku ingin kita meningkatkan pelayanan Luna Star dan ….”
Rapat berlangsung lancar seperti biasa, namun Via yang tidak fokus mengalihkan perhatian pada sosok Sean yang duduk di bangku kebesaran. Dia terhanyut dalam buain suara Sean yang selalu dia dengar setiap malam ketika membisikkan kata manis dan lembut diranjang mereka yang panas. Bibir melengkung bagai bulan sabit itu tak luput dari perhatian.
Dalam benak, Via bertanya; berapa lama lagi dia bisa menikmati semua itu. Sampai kapan tangan kekar itu melingkari tubuhnya, dan melindunginya dari mimpi malam yang menghampiri. Bisakah dia menikmati sandaran lembut pada dada bidangnya yang selalu dibalut stelan jas hitam formal saat
bekerja, atau mungkin ini adalah hari-hari terakhirnya menikmati semua. Sungguh, dia dilema. Bisa-bisa tidak ada pria yang dapat mengimbangi sosok Sean Reviano dalam hidup Viania. Property © NôvelDrama.Org.
Next Chapter