Menantu Pahlawan Negara

Bab 218



Bab 218 Meminta Uang

“Kak Susi bisa saja. Kita sudah berhubungan baik selama bertahun-tahun, bagaimana mungkin kami nggak memberi tahu kalian?”

Desi berkata sambil tersenyum, “Kami baru saja pindah ke sini selama beberapa hari, jadi masih belum selesai beres-beres. Aku berencana memberi tahu kalian dalam dua hari ini,”

Sebenarnya, saat pindah ke Vila Cakrawala, dia berencana untuk menyembunyikan hal ini dari mereka sekeluarga sebaik mungkin.

Siapa sangka mereka sudah datang sendiri.

Selain itu, mereka sengaja menunggu di depan kompleks vila mewah ini. Saat pulang dari pasar, kebetulan mereka bertemu dengannya.

Susi Sudibya mendengus dengan kesal dan berkata, “Desi, kamu mau membohongi siapa? Sebelumnya, saat aku meneleponmu dan menanyakan apakah kamu sudah pindah rumah, kamu seolah-olah nggak berniat memberitahuku.”

“Kamu jangan pikir aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan. Kamu nggak ingin kami tahu kamu sudah membeli vila mewah ini dan datang untuk meminta uang padamu, ‘kan?”

“Mungkin kamu bisa bersembunyi untuk sesaat, tapi apa mungkin kamu bisa bersembunyi dari kami selamanya?”

“Jangan lupa, kamu yang sudah mencelakai putriku. Utangmu pada keluarga kami nggak akan pernah lunas seumur hidup!”

Tiba-tiba, dia menggebrak meja dengan keras, membuat Desi terkejut bukan main.

Selain itu, ucapannya ini juga membuka luka dalam lubuk hati Desi.

“Ya, apa yang kamu katakan benar, Kak Susi. Aku bersalah pada Laura, aku bersalah pada keluarga kalian ….”

Dengan mata memerah, dia meminta maaf dengan suara rendah.

Melihat ibu mereka bersedih seperti itu, Luna dan Handoko juga ikut bersedih.

Selama lima tahun ini, pemandangan seperti ini sudah terulang berkali-kali, bahkan Luna dan Handoko juga pernah meminta maaf kepada Keluarga Lasman karena hal ini.

Namun, apa daya. Keluarga mereka berutang nyawa pada Keluarga Lasman.

“Ibu, nggak perlu beromong kosong dengannya lagi. Kalau minta maaf ada gunanya, kakakku pasti sudah lama hidup kembali.”

Viktor menyilangkan kakinya di atas meja, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Luna sekeluarga dan berkata, “Aku malas berbasa- basi lagi. Belakangan ini, aku berencana berbisnis sendiri. Jadi, kedatangan kami ke sini adalah untuk meminta sedikit uang pada kalian.”

“Viktor, berapa yang kamu butuhkan?”

Desi sudah bisa menebak tujuan kedatangan keluarga ini, jadi dia juga tidak ingin berbasa-basi lagi dan segera menanyakan berapa banyak uang yang mereka inginkan. Dia hanya ingin segera mengusir keluarga ini keluar dari vila.

Mereka baru datang sebentar saja, ruang tamu yang tadinya tertata rapi dan bersih berubah menjadi kotor dan berantakan.

“Dua miliar!” kata Viktor sambil mengulurkan dua jarinya.

“Ah? Sebanyak itu?”Text property © Nôvel(D)ra/ma.Org.

Begitu mendengar nominal yang disebut oleh Viktor, Desi terkejut setengah mati.

2

Dulu, setiap kali datang dan meminta uang, jumlah uang yang diminta oleh keluarga ini paling sedikit sekitar enam puluh sampai seratus. juta, sedangkan paling banyak sekitar tiga ratus sampai lima ratus juta. Luna sekeluarga terpaksa mengeluarkan tabungan yang mereka miliki atau meminjam sedikit uang untuk diberikan kepada Keluarga Lasman.

Desi tidak menyangka kali ini Viktor langsung meminta dua miliar.

“Cih!”

Tiba-tiba, Darius Lasman meludah di dalam tempat sampah di hadapannya.

Hanya mendengar suara itu saja, Luna dan Handoko sudah merasa mual.

Darius berdeham, lalu memelototi Desi dengan tidak senang. “Coba kalian lihat vila besar kalian ini, paling sedikit harganya mencapai dua puluh miliar, ‘kan? Putraku hanya meminta dua miliar, tapi kamu sudah merasa keberatan. Jangan berpura-pura nggak punya uang lagi di hadapan kami!”

‘Dua puluh miliar? Hah, masih kurang satu nol.’

Namun, Desi tidak sebodoh itu. Dia tidak mungkin memberi tahu satu keluarga serakah ini nilai asli dari Vila Cakrawala.

Susi juga berkata dengan dingin, “Desi, putrimu sudah menjadi manajer umum Grup Agung Makmur. Uang di perusahaan adalah miliknya. Bagaimana mungkin kalian nggak mampu mengeluarkan uang sebesar dua puluh miliar?”

“Itu adalah uang perusahaan, bukan uang pribadiku,” kata Luna yang sudah tidak bisa menahan diri lagi.

“Memang itu urusanku? Aku sama sekali nggak peduli!”

Susi berteriak pada Luna, “Aku hanya tahu putriku kehilangan nyawanya karena dicelakai oleh ibumu. Dengan kecerdasan putriku, aku yakin kalau dia masih hidup, kemampuannya juga setara denganmu!”

Ekspresi Luna berubah drastis, tetapi dia tidak punya pilihan lain selain menutup mulutnya.

Ardika yang sudah sejak lama menyaksikan pemandangan ini akhimya tidak bisa menahan diri lagi. Dia berkata dengan dingin, “Kamu terus mengungkit putrimu seolah-olah kamu sangat menyayanginya. Tapi, kenapa aku merasa kamu hanya menjadikan putrimu sebagai mesin pencetak uang?!”

Begitu kata-kata itu keluar dari mulut Ardika, suasana di ruang tamu langsung hening seketika.

Bagaikan kelinci yang ekornya diinjak, saking kesalnya Susi langsung melompat berdiri dari sofa dan berkata, “Bocah dari mana ini?! Omong kosong apa yang kamu bicarakan?!”

‘Dia adalah suami idiot Luna.”

Viktor juga bangkit berdiri, lalu memelototi Ardika dan berkata, “Kamu nggak lebih hanya seorang menantu yang numpang hidup di sini! Kamu nggak berhak berbicara di sini!”


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.